BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hirschsprung atau mega kolon kongenital
merupakan penyakit yang menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, tepatnya
pada usus besar. Hirschsprung atau mega kolon congenital juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital
dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di
kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya
peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spinkter rektum tidak dapat
berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian
dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak ada ganglion
dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat
menyebabkan dilatasi usus proksimal. Penyakit hirschprung atau mega kolon
congenital dapat terjadi pada semua usia, namun yang paling sering pada neonatus.
Pasien
dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan serta mendeskripsikan mega colon congenital
pada tahun 1863 adalah Harald Hirschsprung.
Namun, pada saat itu patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian distal usus defisiensi ganglion. Penyakit hirschprung terjadi pada 1/5000
kelahiran hidup. Insidensi hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara
pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Insidens keseluruhan
dari penyakit Hirschsprung 1: 5000 kelahiran hidup. laki-laki lebih banyak diserang
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Biasanya, penyakit Hirschsprung
terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3kg dan jarang pada bayi prematur.
Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down,
sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Penyakit
ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium
dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi.
faktor penyebab penyakit Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor
genetik dan faktor lingkungan.
Oleh
karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi,
rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu
dengan pembedahan dan colostomi.
B. Tujuan Penulisan
Ø Tujuan
Umum
Untuk memperoleh informasi tentang
penyakit yang menyerang pada sistem pencernaan
Ø Tujuan
Khusus
Untuk memahami tentang hirschprung
atau mega colon congenital dan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
hirschprung atau mega colon kongenital
C. Manfaat Penulisan
Ø Bagi
Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui mengenai
konsep dasar dan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit hirschprung
atau mega colon congenital
Ø Bagi
Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui tentang
gangguan pada system pencernaan khususnya tentang penyakit hirschprung atau
mega kolon congenital secara lengkap.
D. Sistematika Penulisan
Pada bab 1 dalam
makalah ini dibahas tentang latar belakang, tujuan, manfaat serta sistematika
penulisan dari makalah ini. Pada bab 2 dibahas definisi, etiologi, anatomi
fisiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, prognosis dan pathway dari hirschprung atau mega colon congenital.
Pada bab 3 dibahas asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit hirschprung
atau mega colon kongenital. Pada bab 4 berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit
Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus besar
yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak
memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya.
Hirschsprung
terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah
mulai dari anus hingga usus diatasnya. Saraf yang berguna untuk membuat usus
bergerak melebar menyempit biasanya tidak sama sekali atau kalaupun ada sedikit
sekali. Namun yang jelas kelainan ini akan membuat BAB bayi tidak normal,
bahkan cenderung sembelit terus-menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya saraf
yang dapat mendorong kotoran keluar dari anus.
Dalam keadaan
normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena adanya
kontraksi ritmis dari otot-otot yang melepasi usus (kontraksi ritmis ini
disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oelh
sekumpulan saraf yang disebut ganglion yang terletak dibawah lapisan otot. Pada
penyakit hirschsprung ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa
sentimeter.
Segmen usus yang
tidak memiliki gerakan peristalltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang
dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit hirschsprung 5 kali lebih sering
ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan
bawaan lainnya, seperti sindroma down.
B. Etiologi
Penyakit ini
disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai
dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas didaerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai
seluruh usus dan pilorus.
Adapun yang
menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah diduga karena
terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan submukosa pada dinding plexus.
Dalam keadaan
normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena adanya
kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini
disebut gerakan peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang
disebut ganglion yang terletak dibawah lapisan otot.
C. Anataomi Fisiologi
1. Rongga
Mulut
·
Gigi
Anatomi fisiologi system pencernaan
pertama yang berinteraksi dengan makanan secara langsung adalah rongga mulut.
Rongga mulut termasuk dalam saluran pencernaan. Rongga ini merupakan tempat
pertama yang menerima makanan. Organ pertama dari rongga mulut yang menerima
makanan adalah gigi, dimana fungsinya adalah memotong dan merobek makanan
secara mekanik dari yang berukuran besar hingga
berukuran pas untuk ditelan.
·
Lidah
Lidah merupakan organ yang berperan
mengatur makanan dan gigi dan tidak hanya itu, lidah juga berperan sebagi organ pengecap makanan sehingga manusia
berselera makan. Bagian lidah yang berperan dalam pengecap rasa makanan adalah
papilla.
Di dalam rongga mulut, terdapat
pula air ludah, yang dihasilkan oleh
kelenjar ludah. Fungsinya untuk membasahi makanan, sehingga makanan mudah
ditelan dan dikunyah. Air ludah juga mengandung enzim ptyalin yang mengubah
karbohidrat menjadi disakarida.
2. Kerongkongan
Kerongkongan merupakan bagian
saluran pencernaan tempat mmelakukan makanan dari rongga mulut ke lambung.. di
dalam kerongkongan makanan akan mengalir
dengan bantuan gerak peristalltik dari otot kerongkongan.
3. Lambung
Lambung adalah organ pencernaan
yang terletak di rongga perut atas sebelah kiri. Didalam labung, makanan akan
dicerna secara kimiawi menggunakan enzim pencernaan. Enzim pencernaan yang ada
didalam lambung diantaranya enzim pepsin dan lipase. Tidak hanya enzim di
lambung terdapat asam lambung yang mempunyai pH rendah. Fungsi asam lambung
yaitu sebagai pembunuh kuman.
4. Usus
Halus
Makanan yang sudah dicerna lambung
akan masuk ke dalam usus halus. Usus halus adalah organ pencernaan yang
mencerna makanan secara kimiawi menggunakan enzim. Enzim-enzim yang terdapat
pada usus halus yaitu enzim amilase, tripsin dan lipase.
Usus halus terbagi menjadi 3 bagian
yaitu duodenum, jejenum dan ileum. Sari-sari makanan yang terserap akan masuk
ke dalam pembuluh darah. Adapun sisa
penyerapan akan dialirkan ke dalam usus besar. Gerakan yang berperan dalam
pengaliran makanan ini adalah gerakan peristaltik.
5. Usus
Besar
Sisa hasil penyerapan usus halus
akan masuk ke dalam usus besar. Di usus besar ini, sisa pencernaan akan diserap
kembali kadar air dan garam-garam yang masih terkandung sehingga sisa
pencernaan ini akan padat.
Didalam usus besar sisa pencernaan
akan mengalami pembusukan karena didalam usus besar terdapat banyak bakteri
pembusuk yaitu E.Colli.
D. Patofisiologi
Istilah
congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan
tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus
besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta
spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses
secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.
Semua
ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik
dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus
yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan
dibagian Colon tersebut melebar.
F. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dapat bermacam-macam berdasarkan keparahan
dari kondisi kadang-kadang mereka muncul segera setelah bayi lahir. Pada saat
yang lain mereka mungkin saja tidak tampak sampai bayi tumbuh menjadi remaja
ataupun dewasa.
Ø Pada kelahiran baru tanda dapat
mencakup :
1. Kegagalan dalam dalam mengeluarkan
feses dalam hari pertama atau kedua kelahiran
2. Muntah : mencakup muntahan cairan
hijau disebut bile-cairan pencernaan yang diproduksi di hati
3. Konstipasi atau gas
4. Diare
Ø Pada anak-anak yang lebih tua, tanda
dapat mencakup :
1. Perut yang buncit
2. Peningkatan berat badan yang sedikit
3. Masalah dalam penyerapan nutrisi,
yang mengarah penurunan berat badan, diare atau keduanyadan penundaan atau
pertumbuhan yang lambat
4. Infeksi kolon, khususnya anak yang
baru lahir atau yang masih muda, yang dapat mencakup enterocolitis, infeksi
serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-kadang dilatasi kolon yang
berbahaya. Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa, gejala dapat mencakup
konstipasi dan nilai rendah dari sel darah merah (anemia) karena darah hilang
dalam feses.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia
darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam
batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit.
b. Darah
rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatiof.
c. Profil
koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan
pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
2. Pemeriksaan
Radiologi
a. Foto
polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan adanya
udara dalam rectum.
b. Barium
enema
·
Jangan membersihkan kolon bagian distal
dengan enema sebelum memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan
gambar pada daerah zona transisi.
·
Kateter diletakkan didalam anus, tanpa
mengembangkan balon, untuk menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko
terjadinya peforasi. foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil
lagi 24 jam kemudian.
·
Colon bagian distal yang menyempit
dengan bagian proksimal yang mengalami dilatasi merupakan gambaran klasik
penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit
diinterpetasi dan sering kali gagal memperlihatkan zona transisi.
·
Gambaran radiologis lainnya yang
mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah adanya retensi kontras lebih dari 24
jam setelah barium enema dilakukan.
3. Biopsi
Biopsi rektum untuk melihat
ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat ganglion atau tidak. Pada
penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan.
H. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan pada penyakit hirscprung
dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau
double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat
kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi
itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 Kg), satu dari tiga
prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan
menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus.
Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1
tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang
terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang
ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu
dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan
saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur
yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot
dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik
sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan
jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
2. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus
dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan sonde lambung serta pipa rectal
untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
3. Tindakan
bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien
neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan pasien dengan
enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon
berganglion normal yang paling distal.
4. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung
pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama
periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu
orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini.
b. Membantu
perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
c. Mempersiapkan
orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).
d. Mendampingi
orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
Pada perawatan preoperasi harus
diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat
bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali
melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet
rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan
nutrisi parenteral total.
I. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit
hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya
sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya
sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi
dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIRSCHSPRUNG
A.
Pengkajian
Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup
bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan
dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid
bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki
dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
B.
Riwayat
Kesehatan
1. Keluhan utama
Obstipasi merupakan
tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah
mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung
dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
2. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kelainan
bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan
ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan
dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk
dapat terjadi.
3. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit
terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga
yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
C.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi
klinis. Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan
hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala
terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi
syok atau sepsis.
Pada
pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan
didapatkan
Inspeksi : Tanda
khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum dan fese akan
didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.
Auskultasi :
Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya
bisng usus.
Perkusi : Timpani
akibat abdominal mengalami kembung.
Palpasi : Teraba
dilatasi kolon abdominal.
1. Sistem kardiovaskuler : Takikardia.
2. Sistem pernapasan : Sesak
napas, distres pernapasan.
3. Sistem pencernaan : Umumnya
obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare
kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan
diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
4. Sistem saraf : Tidak ada kelainan.
5. Sistem lokomotor/musculoskeletal
: Gangguan rasa nyaman : nyeri
6. Sistem endokrin : Tidak
ada kelainan.
7. Sistem integument : Akral
hangat, hipertermi
8. Sistem pendengaran : Tidak
ada kelainan.
D.
Pemeriksaan
Diagnostik dan Hasil
1. Foto
polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah.
2. Pemeriksaan
dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan
terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
3. Biopsi
isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
4. Biopsi
otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
5. Pemeriksaan
aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas
enzim asetilkolin eseterase.
E.
Diagnosa
Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Risiko
konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
2. Risiko
ketidakseimbangan volume cairan/elektrolit
tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan
absorbs air oleh intestinal.
3. Risiko
injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding
intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
4. Nyeri
berhubungan dengan distensi abdomen, iritasi intestinal, respon pembedahan
5. Risiko
tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan penurunan volume darah, sekunder
dari absorpsi saluran intestinal, muntah-muntah.
6. Risiko
tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang adekuat.
7. Risiko
tinggi infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan
8. Pemenuhan
informasi berhubungan dengan adanya kolostomi, evaluasi diagnostic, rencana
pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
9. Risiko
gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan perubahan kondisi psikososial anak
selama dirawat sekunder dari kondisi sakit.
10. Ansietas
berhubungan dengan prognosis penyakit, miniterpretasi informasi, rencana
pembedahan.
F.
Analisa
Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah
keperawatan
|
DS : anak terus rewel
DO: konstipasi, tidak
ada mekonium > 24-48 jam pertama, kembung, distensi abdomen, peristaltic
menurun
|
Segment pendek/ segment panjang
Peristaltic dalam segment
Obstruksi kolon
|
Risiko konstipasi
|
DS: tidak mau minum,
rewel
DO: mukosa mulut
kering, ubun-ubun dan mata cekung, turgor kulit kurang elastic
|
Mual, muntah,
kembung
anorexia
Intake nutrisi
tidak adekuat
Kehilangan cairan
dan elektrolit
|
Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh
|
DS: rewel dan merasa
kurang nyaman akibat kolostomi
DO: BAB melalui
kolostomi
|
Intervensi
pembedahan
Kerusakan jaringan pasca pembedahan
|
Risiko injuri
|
DS : pasien merasa
demam
DO : hipertermi (suhu
38o C)
|
Obstruksi kolon
proksimal
Intervensi
pembedahan
Kerusakan
jaringan pasca pembedahan
|
Risiko infeksi
|
G.
Diagnosa
keperawatan prioritas
Pre
Operasi
1. Risiko
konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
2. Risiko
ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh
dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
Post
Operasi
1. Risiko
injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding
intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
2. Resiko
infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.
H.
Intervensi
Keperawatan
Dx
Keperawatan
|
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1. Resiko
kostipasi b/d penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
|
Tujuan : Pola BAB normal
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami konstipasi,
pasien mempertahankan defekasi setiap hari
|
1. Observasi
bising usus dan periksa adanya distensi abdomen pasien. Pantau dan catat
frekuensi dan karakteristik feses
2. Catat
asupan haluaran secara akurat
3. Dorong
pasien untuk mengkonsumsi cairan 2.5 L setiap hari, bila tidak ada
kontraindikasi
4. Lakukan
program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau commode pada saat
tertentu setiap hari, sedekat mungkin kewaktu biasa defekasi (bila diketahui)
5. Berikan
laksatif, enema, atau supositoria sesuai instruksi
|
1. Untuk
menyusun rencana penanganan yang efektif dalam mencegah konstipasi dan
impaksi fekal
2. Untuk
meyakinkan terapi penggantian cairan dan hidrasi
3. Untuk
meningkatkan terapi penggantian cairan dan hidrasi
4. Untuk
membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologi normal
5. Untuk
meningkatkan eliminasi feses padat atau gas dari saluran pencernaan, pantau keefektifannya
|
2. Risiko
ketidakseimbangan volume cairan tubuh b/d keluarnya cairan tubuh dari muntah,
ketidak mampuan absorps air oleh instentinal
|
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil : turgor kulit elastik dan normal, CRT
< 3 detik
|
1. Timbang
berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan
2. Ukur
asupan cairan dan haluaran urin untuk mendapatkan status cairan
3. Pantau
berat jenis urin
4. Periksa
membran mukosa mulut setiap hari
5. Tentukan
cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan tersebut di samping tempat
tidur pasien, sesuai instruksi
6. Pantau
kadar elektrolit serum
|
1. Untuk
membantu mendeteksi perubahan keseimbangan cairan
2. Penurunan
asupan atau peningkatan haluaran meningkatkan defisit cairan
3. Peningkatan
berat jenis urin mengindikasikan dehidrasi. Berat jenis urin rendah,
mengindikasikan kelebihan volume cairan
4. Membran
mukosa kering merupakan suatu indikasi dehidrasi
5. Untuk
meningkatkan asupan
6. Perubahan
nilai elektrolit dapat menandakan awitan
ketidakseimbangan cairan
|
3. Risiko
injury berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskeimia, necrosis dinding
intestinal sekunder dari kondisi obstruksi usus
|
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pasca intervensi reseksi
kolon tidak mengalami injuri
Kriteria Hasil : TTV normal (RR : 16-24 x/mnt, Suhu :
360 C-370C, N:60-100x/mnt, TD : 120/70 mmHg),
kardiorespirasi optimal, tidak terjadi infeksi pada insisi
|
1. Observasi
faktor-faktor yang meningkatkan resiko injuri
2. Monitor
tanda dan gejala perforasi atau peritonitis
3. Lakukan
pemasangan selang nasogatrik
4. Monitor
adanya komplikasi pasca bedah
5. Pertahankan
status hemodinamik yang optimal
6. Bantu
ambulasi dini
7. Hadirkan
orang terdekat
8. Kolaborasi
pemberian antibiotik pasca bedah
|
1. Pasca
bedah terdapat resiko rekuren dari hernia umbilikalis akibat peningkatan
tekanan intra abdomen
2. Perawat
yang mengantisipasi resiko terjadinya perforasi atau peritonitis. Tanda dan
gejala yang penting adalah anak rewel tiba-tiba dan tidak bisa dibujuk atau
diam oleh orang tua atau perawat, muntah-muntah, peningkatan suhu tubuh dan
hilangnya bising usus. Adanya pengeluaran pada anus yang berupa cairan feses
yang bercampur darah merupakan tanda klinik penting bahwa telah terjadi
peforasi. Semua perubahan yang terjadi didokumentasikan oleh perawat dan
laporkan pada dokter
3. Tujuan
memasang selang nasogatrik adalah intervensi dekompresi akibat respon
dilatasi dan kolon obstruksi dari kolon aganglionik. Apabila tindakan ini
dekompresi ini optimal, maka akan menurunkan distensi abdominal yang menjadi
penyebab utama nyeri abdominal pada pasien hirschprung
4. Perawat
memonitor adanya komplikasi pasca bedah seperti mencret ikontinensia fekal,
kebocoran anastomosis, formasi striktur, obstruksi usus, dan enterokolitis
5. Pasien
akan mendapatkan cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik
6. Pasien
dibantu turun dari tempat tidur pada hari pertama pasca operasi dan disorong
untung mulai berpartisipasi dalam ambulasi dini
7. Pada
anak, menghadirkan orang terdekat dapat mempengaruhi penurunan respon nyeri.
Sedangkan pada dewasa merupakan tambahan dukungan psikologis dalam menghadapi
masalah kondis nyeri baik akibat kolik
abdomen atau nyeri pasca bedah
8. Antibiotik
menurunkan resiko infeksi yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat
memperlama proses penyembuhan pasca funduplikasi lambung
|
4. Resiko
infeksi b/d pasca prosedur pembedahan
|
Tujuan : tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil : suhu dalam rentang normal, tidak ada
patogen yang terlihat dalam kultur, luka dan insisi terlihat bersih, merah
muda, dan bebas dari drainase purulen
|
1. Minimalkan
risiko infeksi dengan : mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan
perawatan, menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat
memberikan perawatan langsung
2. Observasi
suhu minimal setiap 4 jam dan catat pada kertas grafik. Laporkan evaluasi
kerja
|
1. Mencuci
tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk mencegah patogen, sarung tangan
dapat melindungi tangan pada saat memegang luka yang dibalut atau melakukan
berbagai tindakan
2. Suhu
yang terus meningkat setelah pembedahan dapat merupakan tanda awitan
komplikasi pulmonal, infeksi luka atau dehisens.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah
suatu penyumbatan pada usus besar yang
terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak
memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Hirschsprung terjadi karena
adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah mulai dari anus
hingga usus diatasnya. Penyakit
hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan
usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum.Penyakit ini disebabkan oleh
tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
B. Saran
Sebagai calon perawat harus mengerti dan memahami penyakit hirschsprung (mega kolon kongenital). Dengan memahami dan mengerti penyakit hirschprung, sebagai calon perawat maka bisa memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2003. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon). Disitasi
dari http://www.indosiar.co.id/v2003/pk. pada tanggal 26 Oktober 2010.
Behrman,
dkk.1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC.
Budi.
2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung. Disitasi dari http://www.mediakeperawatan.com/?id=budixtbn.
pada tanggal 26 Oktober 2010.
Yuda.
2010. Penyakit Megacolon. Disitasi dari
http://dokteryudabedah.com/wp-content/uploads2010/01/mega-colon pada tanggal 26
Oktober 2010.
Mansjoer,
dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Diposkan
oleh GweN di 09.42
Sahre perawat, gabung di situs forum keperawatan indonesia, wajib buat perawat atau mahasiswa di http://www.forkep.com
BalasHapus